Jumat, 23 Januari 2015

Memohon Syafa'at kepada Nabi Muhammad Saw


Sebagian orang ada yang mengatakan bahwa kita tidak boleh memohon syafaat kepada Nabi Muhammad SAW di dunia ini. Bahkan sebagian yang lain menyatakan perbuatan seperti itu termasuk ke dalam perbuatan syirik dan sesat. Untuk memberikan pemahaman yang baik dan benar perihal memohon syafaat kepada Nabi Muhammad SAW, berikut akan penulis sampaikan penjelasan yang diberikan oleh Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki dalam bukunya Paham-Paham Yang Perlu Diluruskan dengan sedikit penyederhanaan redaksi.

Sekelompok orang yang melarang umat Islam untuk memohon syafaat kepada Nabi SAW di dunia ini dan bahkan memvonisnya sebagai perbuatan syirik biasanya berdalil dengan ayat berikut:


Katakanlah, “Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya. Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi, kemudian kepada- Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. az-Zumar [39]: 44)

Padahal pengambilan ayat ini sebagai dalil tidaklah tepat. Kesalahan mereka dapat dilihat dari dua segi: Pertama, tidak ada satupun nash dari al-Qur’an maupun al-Hadits yang melarang kita memohon syafaat kepada Nabi SAW di dunia ini. Kedua, makna ayat di atas sesungguhnya tidaklah seperti yang mereka kemukakan. Bahkan keadaan ayat tersebut sama dengan beberapa ayat yang lain yang menerangkan kekhususan Allah dalam hal-hal di mana Dia adalah penguasa dan pemilik yang mutlak, namun kemudian tidak menafikan kemungkinan diberikannya kekhususan itu kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya.

Simaklah ayat berikut:

“Bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi; hanya Allah-lah yang mempunyai semua kerajaan dan semua pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. at-Taghabun [64]: 1)

Dalam ayat di atas Allah SWT menjelaskan bahwa semua kerajaan itu adalah milik-Nya. Namun coba bandingkan dengan ayat berikut:

Katakanlah, “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran [3]: 26)

Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa Dia memberikan kerajaan itu kepada orang yang dikehendaki-Nya.[1]

Demikian pula halnya dengan syafaat. Surat Az-Zumar ayat 44 di atas memang menegaskan bahwa hanya Allah SWT secara mutlak Dzat Pemilik Syafaat. Namun coba bandingkan dengan ayat-ayat berikut:

“Mereka tidak berhak mendapat syafaat kecuali orang yang telah mengadakan perjanjian di sisi Tuhan yang Maha Pemurah.” (QS. Maryam [19]: 87)

“Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi syafaat, akan tetapi (orang yang dapat memberi syafaat ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya).” (QS. az-Zukhruf [43]: 86)

Dengan demikian jelaslah bahwa Allah memberi kepada orang yang dikehendaki-Nya apa saja yang dikehendaki-Nya. Sehingga memberikan kemuliaan yang menjadi milik-Nya itu kepada Rasul dan orang-orang yang beriman. Maka demikian pula halnya dengan syafaat.

Semua syafaat adalah milik Allah semata, namun Dia telah berkenan memberikan syafaat itu kepada para nabi dan hamba-hamba-Nya yang saleh. Bahkan, kalangan awam dari umat Islam pun diberi-Nya pula. Di mana hal ini telah dijelaskan melalui berbagai hadits shahih dan mutawatir secara maknawi.

Dosa apakah gerangan yang terdapat pada perbuatan orang yang meminta sesuatu kepada pemiliknya, terutama jika si pemilik itu orang yang pemurah, sementara si peminta sungguh berhajat pada pemberian itu?

Syafaat tak lain adalah doa. Sedangkan setiap doa diperkenankan, ditetapkan dan diterima –terutama jika si pendoa itu adalah para nabi dan orang-orang saleh– baik di dunia ini maupun setelah kematian di alam kubur dan atau pada hari Kiamat nanti.

Syafaat itu memang telah diberikan kepada orang yang telah mengambil janji di sisi-Nya, dan Allah berkenan menerimanya dari dan atau untuk orang yang mati dalam tauhid.

Dalam hubungan ini tak dapat diragukan lagi bahwa ada banyak riwayat yang menerangkan bahwa sebagian sahabat meminta syafaat kepada Nabi SAW, dan beliau sama sekali tidak pernah mengatakan kepada mereka bahwa: “Memohon syafaat kepadaku berarti syirik!!” Karena itu, mintalah kepada Allah, dan janganlah kamu mempersekutukan Dia dengan siapa pun juga!”

Simaklah, Anas bin Malik ra pernah berkata, “Ya Rasulullah, berilah aku syafaat nanti di hari Kiamat.”
Nabi SAW menjawab, “Aku akan perbuat, insya Allah.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam kitab Sunan-nya, pada Bab “Keterangan tentang Shirat”. Ia menyatakan bahwa hadits ini hasan.

Selain Anas, banyak pula sahabat lain yang memohon syafaat kepada Nabi Muhammad SAW.
Sawad bin Qarib, misalnya, dia berkata di hadapan Nabi SAW, “Aku bersaksi bahwa Allah itu tidak ada Tuhan selain Dia, dan engkau terpercaya atas segala berita gaib, dan engkaulah wasilah terdekat di antara para rasul, yaitu wasilah menuju Allah, wahai anak orang mulia dan baik-baik.”
Kemudian ucapannya itu diakhiri dengan, “Maka mohonlah kiranya engkau berkenan mensyafaatiku pada hari yang tidak bisa memberi syafaat seorang pun selain engkau, walaupun engkau tidak pernah membutuhkan Sawad bin Qarib.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Baihaqi dalam kitab Dalail al-Nubuwwah. Sementara Abdul Barr meriwayatkan hadits ini dalam kitabnya al-Isti’ab.

Selain itu, satu hal yang harus kita perhatikan adalah bahwa Rasulullah SAW, sebagaimana yang terlihat dalam riwayat di atas, ternyata membenarkan dan tidak melarang sedikit pun para sahabat yang memohon syafaat kepadanya.

Sementara Mazin Ibn al-‘Adhub juga memohon syafaat kepada Nabi SAW ketika ia baru saja masuk Islam, di mana ia bersenandung dengan syairnya:

“Ya Rasulullah, kepadamu telah kulangkahkan tungganganku, melintasi daerah Fayati dari Oman dan al-Araj, agar engkau berkenan mensyafaatiku.
“Wahai orang yang terbaik di antara orang yang menginjak kerikil, semoga Tuhanku mengampuni daku, agar aku dapat pulang dengan hati nan lapang.” (Riwayat Abu Nu’aim dalam Dalail al-Nubuwwah, halaman 77)

Ukasyah Ibnu Mahshan juga pernah memohon syafaat, yakni ketika Nabi SAW menyebutkan bahwa di antara umatnya ada sebanyak 70.000 orang masuk Surga tanpa hisab. Maka berkatalah Ukasyah Ibn Mahshan, “Doakanlah aku ya Rasulullah, semoga aku masuk ke dalam golongan tersebut.” Nabi SAW dengan serta merta menjawab, “Ya, engkau termasuk dalam golongan itu.”

Dalam hal ini kita sudah menyadari sepenuhnya bahwa seseorang tidak akan pernah masuk golongan “peringkat pertama” orang-orang yang masuk Surga tanpa dihisab, kecuali setelah memperoleh syafaat qubra dari para nabi di padang Mahsyar, sebagaimana yang telah disebutkan di dalam hadits yang mutawatir. Oleh sebab itu, ucapan Ukasyah itu artinya sama dengan meminta syafaat kepada Nabi SAW.

Cukup banyak riwayat yang arti dan maknanya senada dengan apa yang sudah dibahas di atas, yang termuat di dalam berbagai kitab hadits yang shahih. Yang pada intinya, semua memperlihatkan kebolehan memohon syafaat kepada Nabi Muhammad SAW. Bahkan di antara mereka ada yang memintanya dengan ta’yin melalui ucapan mereka, seperti: “Berilah aku syafaat”, atau memohon supaya masuk Surga, meminta supaya termasuk ke dalam golongan yang terdahulu masuk Surga, memohon agar dapat meminum air dari telaga al-Kautsar di Surga, atau memohon agar dapat menemani atau bersama Nabi SAW di dalam Surga.

Yang disebut terakhir ini adalah permintaan Rabi’ah al-Aslami yang pernah berkata, “Ya Rasulullah, aku mohon kepadamu agar aku dapat menemanimu di dalam Surga.” Lantas Nabi SAW menjawab, “Ya, tapi bantulah aku mengenai dirimu dengan jalan banyak bersujud.”

Dalam hal ini tampak jelas bahwa Nabi SAW sama sekali tidak mengatakan kepada Rabi’ah: “Ini haram!! Tidak boleh diminta dari sekarang, waktunya belum tiba, tunggulah sampai datang izin Allah untuk memberi syafaat, atau sampai kita masuk ke dalam Surga.” Nabi SAW sama sekali tidak mengatakan hal yang demikian, baik kepada Rabi’ah al-Asalmi maupun kepada orang lain yang meminta masuk Surga, meminta berteman di Surga, meminta menjadi ahli telaga al-Kautsar di Surga, meminta diampuni, dan sebagainya.

Padahal kita yakin, semuanya itu tidak akan pernah terjadi di dunia ini, melainkan kelak di kemudian hari, setelah al-Syafa’at al-‘Uzhma.

Maka dapat disimpulkan di sini, bahwa semua itu merupakan permintaan syafaat, dan peran Nabi SAW adalah pemberi kabar gembira yang menjanjikan banyak hal yang membuat hati umatnya menjadi tenteram.

Maka tak mungkin hal itu terlarang. Karena Nabi SAW juga tidak pernah menerangkan hukum yang sekedar basa-basi, atau tindakan mengambil hati, misalnya. Di sisi lain, Nabi SAW juga tidak peduli akan caci maki dalam menyampaikan kebenaran syariat Islam. Oleh sebab itu, beliau pastilah akan menenangkan hati dan menenteramkan jiwa seluruh umatnya dengan apa saja yang masih berjalan di atas rel kebenaran, yang terbit dari mata air agama Islam, dan yang jauh dari kebatilan dan kemunafikan.

Kalau sudah sah memohon syafaat di dunia sebelum datang waktu akhirat, maka hal itu bermakna akan diterima nanti secara hakiki pada tempat dan waktunya, setelah ada izin Allah SWT. Jadi, bukan berarti diterima sebelum tiba waktunya.

Hal yang demikian ini pada hakikatnya sama seperti kabar gembira mengenai orang Mukmin yang kelak akan masuk Surga, yang bermakna bahwa pada waktu yang telah ditentukan dan setelah ada izin dari Allah SWT mereka akan masuk Surga.

Jadi, bukan berarti mereka memasukinya di dunia dan atau di alam barzakh. Saya tidak percaya seorang Muslim yang berakal, bahkan yang awam sekalipun, akan memiliki pandangan lain dari keyakinan ini.

Jika memohon syafaat kepada Nabi Muhammad SAW semasa beliau hidup sudah dinyatakan sah dan benar di dunia ini, maka menurut hemat kami, tidak salah pula memohon syafaat kepada Nabi setelah beliau wafat, berdasarkan pada keyakinan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, yang menyatakan bahwa para nabi hidup di alam barzakh. Di mana Nabi kita Muhammad SAW adalah Nabi yang paling agung dan mulia dalam kehidupan tersebut.

Beliau mendengar percakapan umatnya, kepada beliau diperlihatkan amal-amal umatnya. Beliau selalu memohonkan ampunan dan memuji Allah. Beliau menerima shalawat dari orang yang membaca shalawat untuknya, sekalipun bershalawat itu dari ujung dunia.

Hal ini telah banyak disebutkan dalam berbagai hadits yang dishahihkan oleh banyak pakar hadits, yang di antaranya adalah hadist berikut ini:

“Hidupku baik untuk kalian, hidupku itu berbicara bagimu (lisanul hal) dan kamu pun berbicara pula (padaku). Matiku baik pula untuk kalian. Diperlihatkan kepadaku amal perbutanmu. Jika kulihat perbuatanmu baik, maka aku memuji Allah, dan jika kudapati amal kalian buruk, maka aku mohonkan ampunan bagi kalian.”

Hadits ini dinilai shahih oleh banyak pakar hadits, seperi al-Iraqi, al-Haitsami, al-Qasthalani, al-Suyuthi dan Ismail al-Qadhi.

Oleh sebab itu, memohon syafaat kepada Rasulullah SAW setelah beliau wafat pun sama bermanfaatnya dengan memohon syafaat ketika beliau masih hidup, karena beliau sanggup mendoakan dan memintakannya kepada Allah SWT, sebagaimana yang beliau lakukan di masa hidupnya. (J. Rinaldi)


[1] Ayat-ayat senada lainnya bisa Anda rujuk, misalnya, QS. Fathir [35]: 10, kemudian bandingkan dengan QS.al-Munafiqun [63]: 8. Dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar